Halaman

Senin, Oktober 22, 2012

Penyesalan




KRIIIIIIINNNNGGGGGGGG!!!!!
“Arrrggghhh berisik amat tu beker” aku mengumpat seraya bangun dan menggeliat. Aku dapat mencium bau tanah basah, aroma alam yang sangat aku suka. Aku bangkit dari tempat tidur dan membuka tirai jendela, benar dugaanku ternayata diluar hujan. Lalu aku keluar kamar dan menuruni tangga, aku mendapati seorang wanita paruh baya sedang membereskan meja makan.
“Eh non Bunga sudah bangun. Gimana tidurnya non? Nyenyak?” Tanya Bi Inah, wanita paruh baya itu.
Setengah melompat aku menuju meja makan yang letaknya tak jauh dari tangga. “Kasih tau gak yaaaaaaaaa?” jawabku sambil memutar bola mata dan memeluk  Bi Inah. Ya, Bi Inah adalah seorang yang membantu dirumahku, namun beliau sudah aku anggap seperti ibuku sendiri, sejak kecil orangtuaku sangat sibuk sehingga mereka tidak punya waktu untuk mengurus segala keperluanku dan menyerahkan segala tanggung jawab untuk mengurusku pada Bi Inah. Sehingga tak heran, Bi Inah yang paling mengert dan mengenal sifat-sifatku daripada kedua orangtuaku sendiri. Tak jarang aku protes karena kekurangan waktu mereka untukku, namun mereka berkilah ini semua mereka lakukan untuk kebahagiaanku. Aku tidak dapat berbuat apa-apa, aku hanya bisa menangis dan murung. Namun, Bi Inah terus menghiburku hingga rasa sedih itu hilang.


            “Ah non, asal bibi tanya selalu jawabannya gitu.” Ucap Bi Inah sambil tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala.
            “Nyenyak donk biii, apalagi abis minum susu cokelat hangat bikinan bibi. Beeuugghhh, tambah asoy deh tidurnya.” Ucapku sambil mempererat pelukanku padanya.
            “Non Bunga mau makan dulu atau mau mandi dulu? Entar telat ke kampus lho” Tanya Bibi.
            Aku melepas pelukanku dan melihat sekeliling. “Bi, mama sama papa mana?”
            “Mereka sudah berangkat pagi-pagi tadi non. Ada urusan katanya”
            Aku menghempaskan tubuhku diatas kursi dan menghela napas panjang. “Bi, kapan mama sama papa punya waktu untuk aku. Aku pengen bi kayak temen-temen yang lain, kalau sarapan itu bareng keluarga. Aku iri bi sama temen-temenku.” Airmataku mulai berlinang. Bi Inah mengusap lembut kepalaku.
            “Sabar non, bibi yakin waktu itu pasti ada.” Kata bibi seraya menghapus airmataku.
            “Aku capek bi. Udah belasan tahun aku selalu duduk sendirian dimeja makan ini kalau sarapan.” Tangisku semakin menjadi-jadi.
            “Sudah non, kalau nangis nanti cantiknya ilang lho.” Bi Inah mencoba menghiburku. Namun aku tetap tak bergeming. Lalu aku bangkit dari kursi dan beranjak naik ke kamar.
“Non tidak sarapan dulu”
            “Enggak bi, aku gak lapar. Aku juga gak mau diganggu ya bi.”
            “Non gak kuliah?” Tanya Bibi lagi. Aku hanya menggeleng lemah. Lalu melanjutkan langkahku menuju kamar biruku.
            Sampai dikamar, aku merasakan kepalaku berdenyut hebat. Belum pernah rasanya sakit kepala seperti ini menyerangku, seolah-olah aku ingin menghantamkan kepalaku ini pada tembok kamarku. Bahkan untuk melangkah ketempat tidur pun sepertiya aku tak sanggup lagi. Alunan lagu Christina Perri – A Thousand Years mengalun dari hp-ku namun aku tak punya tenaga untuk melihat Caller ID nya. Tiba-tiba pandanganku menjadi gelap, lalu aku tak melihat apa-apa lagi.
*********
            Aku terbangun karena merasakan ada seseorang yang duduk di ujung tempat tidurku dan melihat keluar jendela, matahari telah bersinar dengan teriknya. Sudah siang batinku.
            “Hei nona besar!!!” aku dikejutkan dengan suara lantang seorang perempuan dengan tinggi semampai dan rambut lurus sebahu yang dipotong model layer.
            “Ah kamu bikin kaget aja sih Des” ucapku sambil menarik selimut. Desi, sahabat karibku sejak duduk dibangku SMA. Perkenalan kami awalnya karena keberaniannya membelaku dihadapan segerombolan senior yang sok berkuasa dan semena-mena terhadap junior. Hingga menyebabkan kami berdua dipanggil kepala sekolah karena Desi menyebabkan salah satu dari mereka gegar otak dengan pukulannya. Sejak saat itu kami berteman baik hingga dibangku kuliah. Rumahku tidak asing lagi baginya, dia bisa dengan seenaknya keluar masuk rumah bahkan kamarku layaknya rumah sendiri, kedua orangtuaku dan bi Inah juga kenal baik dengan Desi. Sifatnya yang periang, penyayang, dan penyabar membuatnya disenangi oleh semua orang serta membuatnya cepat akrab dengan orang lain
            “Kamu mau tidur lagi? Oh tidak bisaaaaaaaaa.” Ucapnya seraya menghentak keras selimutku. “Kamu harus bangun sekarang dan menuju kamar mandi, atau kamar mandi yang akan menuju kemari.” Ucap Desi sambil memutar-mutar telunjuknya dihadapanku.
            “Akh, kamu tuh selalu ngancemnya gitu.” Ucapku sambil memajukan bibir.
            “Ya iyalah, kalau gak kamu gak akan mandi. Terus kalau aku bawa kamar mandinya kesini kan Bi inah yg repot jemur nih kasur. Hahaha” Desi tertawa dengan penuh kemenangan.
            “Ah, tau aje kamu. Yaudah aku mandi dulu.”
            “Ok, aku tunggu diruang keluarga ya.”
            “Sippooooooo”
            Setengah jam kemudian aku telah selesai mandi dan berpakaian. Aku mengenakan celana jeans biru pendek kesayanganku dan kaos spongebob. Aku membiarkan rambut panjangku terurai. Kemudian aku turun kebawah, mendapati bi Inah dan Desi sedang tertawa-tawa.
            “Hayooooooo lagi pada ngomongin apaan. Kenceng amat ketawanya.” Tanyaku manyun
            “Hmmmm mau tau aja apa mau tau banget non?” Tanya bi Inah
            Sontak aku melongo, Desi semakin tertwa terbahak-bahak. Aku berusaha menguasai diri dengan cepat. “Bi, pasti diajarin si biang rusuh ini ya kan?” tanyaku sambil menunjuk Desi.
            “Dih enak aja, Bibi tuh belajr dari kamu tauk.” Desi membela diri sambil menahan tawa diperut. Bi Inah kembali tertawa sambil menggelengkan kepalanya, aku kembali melongo.
            “Udah ah. Aku kesini tu mau tanya, kamu kenapa gak masuk kuliah tadi pagi?” tanya Desi. Bi inah pamit ke dapur untuk menyiapkan makan siang.
            “Kepalaku belakangan ini sering sakit Des. Tadi kambuh lagi, makanya aku ga masuk.” Jawabku.
            “Aku temenin kerumah sakit ya, aku khawatir itu bukan sakit kepala biasa. Keseringan kambuhnya.” Usul Desi
            “Enggak ah Des, aku yakin ini Cuma sakit kepala biasa. Dibawa tidur juga sembuh kok.” Tolakku.
            “Aduh.” Tiba-tiba kepalaku sakit sekali. Aku tak sanggup menyembunyikannya dari Desi. Melihatku memegang kepala sambil meringis kesakitan, Desi kontan panik.
            “Bunga, kamu kenapa? Bunga? Bunga?” Desi mengguncang-guncang badanku.
            “Des, kepalaku des! Sakit des! Aku gak tahan lagi!” ucapku sambil menarik-narik rambutku, hal itu membuat Desi semakin panik. Hingga Desi berteriak memanggil Bi Inah.
            “Bi Inaaaahhh!!! Bibiiiiii!!!!!” dengan tergopoh-gopoh Bi Inah datang dari dapur menuju ruang keluarga. Melihat Bunga yang berteriak kesakitan kontan Bi inah panik.
            “Non, ini non Bunga kenapa?” tanya Bi inah sambil memeluk Bunga.
            “Bi, sakit biiii!!!” Bunga menangis smbil berteriak sejadi-jadinya. Lalu tiba-tiba tangisan Bunga berhenti, ia pingsan.
            “Bi, kita harus bawa Bunga kerumah sakit sekarang. Aku khawatir ini bukan sakit kepala biasa. Ayo bi.” Kata Desi pada Bi Inah.
            “Bibi tidak bisa ikut non. Bibi harus jaga rumah.” Ucap Bi Inah.
            “Aduh, gini aja deh. Bibi kabarin tante Kirana sama Om Darwin sekarang ya. Bilangin Bunga dirumah sakit sama saya. Sekarang bibi tolong saya dulu angkat Bunga ke mobil” Sambil menggendong Bunga dan menuju mobil. Sampai dimobil Bi inah menangis terisak-isak.
            “Non Desi, tolong jaga non Bunga ya. Kasihan non Bunga.” Pinta Bi inah pda Desi.
            “Pasti Bi. Bunga sudah aku anggap adik aku sendiri.” Kataku sambil menstarter mesin mobil. “Aku jalan dulu ya bi. Bibi jangan lupa kabari om dan tante.” Wanita paruh baya itu mengangguk perlahan. Ketika bayangan mobil Desi menghilang ditikungan jalan, Bi inah berlari kedalam rumah dan menuju tempat telepon terletak. Lalu menghubungi kedua orangtua Bunga.
            Tuuuuuuuuutttttt tuuuuuuuutttt!!! “Halo” terdengar suara ibunya Bunga.
            “Nyonya, non Bunga, Nya. Non Bunga.!! Ucap bibi
            “Bunga kenapa bi!!” suara mama Bunga terdengar bisik.
            “Non Bunga pingsan Nya. Sebelumnya sempat teriak-teriak kesakitan. Sekarang sudah kerumah sakit diantar sama non Desi.”
            “Oh, udah dianter Desi. Ya udah bi, dia harus bisa mandiri. Sudah ya bi.”
            “Tapi nya….!!!” Belum selesai Bi inah berbicara mama Bunga sudah menutup sambungan telepon. Kemudian Bi inah menghubungi Papa bunga, jawaban yang sama seperti Mama bunga yang didapat oleh wanita tua itu. Bi inah hanya bisa menggelengkan kepala dan mengelus dada.
            Desi mengemudikan mobilnya cepat, ia tidak mau sahabatnya terlambat mendapatkan pertolongan. Setiba dirumah sakit, Desi berteriak teriak memanggil suster. Dengan cekatan beberapa suster dan seorang dokter datang dan menangani Bunga. Tidak berapa lama kemudian dokter keluar.
            “Maaf mbak keluarga pasien?” tanya dokter tersebut.
            “Iya dok, saya kakaknya.”
            “Apakah pasien sering mengalami sakit kepala?”
            “Setahu saya, dia sering mengeluhkan sakit kepalanya semakin menjadi-jadi sejak setahun terakhir ini dok. Tapi menurut dia itu hanya sakit kepala biasa karena kelelahan. Memangnya kenapa ya dok?”
            “Apa belakangan ini dia sering merasakan sakit yang hebat dikepalanya?”
            “iya dok, beberapa kali dia mengatakan sakit kepalanya
            “Hmmm.. benar dugaan saya. Itu bukan sakit kepala biasa. Adik anda menderita kanker otak, dan sekarang sudah mencapai stadium 4. Maaf kalau saya harus mengatakan ini juga, adik anda sedang koma sekarang.” Penjelasan dokter.
            “Apa dok!!!!!!!” desi setengah berteriak. “Kanker?” Ia menatap dokter seolah-olah tidak yakin dengan ucapan dokter.
            “Ya, dan sudah sangat terlambat untuk mengambil tindakan.”
            “Maksud dokter, tidak ada harapan lagi?” Tangisanku mulai pecah, dokter hanya menggeleng perlahan seraya berlalu dari hadapan Desi. Ia terduduk dikursi ruang tunggu pasien, ,kemudian Desi menuju ruang ICU dan melihat sahabatnya terbaring lemah dengan alat bantu pernafasan dan selang-selang yang menempel ditubuhnya.
*********
            Kedua orangtua Bunga pulang hamper larut malam. Tanpa banyak bicara, keduanya langsung naik menuju kamar tanpa menanyakan kabar Bunga. Baru keesokan harinya mereka sadar bahwa mereka tidak melihat bunga.
            “Bunga kemana Bi?” tanya Papa saat Bi Inah sedang menuangkan kopi kedalam cangkir.
            “Non Bunga dirawat dirumah sakit Tuan. Kata Non Desi, Non Bunga koma.” Jawab Bi Inah.
            “Apa?!?!?!” Sontak kedua orangtua Bunga kaget mendengar jawaban Bi Inah. “Bibi kenapa gak kasih tau saya hal sepenting ini!!!!!!” Mama bunga membentak Bi Inah.
            “Saya sudah mencoba untuk memberitahu Tuan dan Nyonya kemarin. Tapi tuan dan Nyonya tidak mau diganggu.” Ucap wanita paruh baya itu.
            “Bi, harusnya…”        
            “Sudah Ma, sudah. Ga ada gunanya kita berdebat disini, sebaiknya kita kerumah sakit sekarang.” Ucap Papa Bunga seraya bangkit dari kursi. Tanda buang waktu Mama Bunga langsung mengikuti suaminya.
            Sampai dirumah sakit mereka bertanya kepada resepsionis, dan langsung menuju ICU. Disana masih ada Desi yang menunggui Bunga di depan ruang ICU.
            “Desi.” Panggil Mama Bunga. Desi kaget dan melihat orang yang memanggil namanya.
            “Tante Kirana, Om Darwin.” Segaris senyum merekah dari bibir Desi.
            “Gimana keadaan Bunga des? Dia sakit apa?”
            “Dia terkena kanker otak stadium 4 tante.” Jawab desi sambil menundukkan kepalanya.
            “Apa?!?!??!?! Kanker otak!?!?!!?” kedua orangtua Bunga kaget dan terhenyak dikursi. Mama bunga tak sanggup menyembunyikan kesedihan dan langsung terisak-isak dibahu suaminya.
“Dari semalam Bunga mengigau manggil-manggil om dan tante. Katanya dia kangen sama om dan tante.” Tambah Desi
“Ayo ma, kita lihat Bunga dulu di dalam.” Ajak Papa Bunga sambil memegang bahu istrinya. Mama Bunga hanya mengangguk lemah dan mensejajari langkah suaminya.
Sampai di ruangan, kedua orangtua Bunga tak sanggup menyembunyikan airmatanya begitu pula Desi. Lalu..
“Mama, Papa. Bunga sakit.” Terdengar suara lemah Bunga.
“Ini mama sayang.” Ucap mama Bunga sambil mengelus-ngelus rambut Bunga. “Papa juga disini nak. Maafin mama sama papa ya sayang. Kami terlalu sibuk dengan urusan kami sendiri sehingga tidak sempat memperhatikan kamu.” Mata Bunga tetap tak kunjung terbuka, suara lemahnya tetap memanggil nama kedua orangtuanya.
“Bunga, ini Papa sayang. Bangun nak.” Papa mengecup lembut kening Bunga. Desi hanya menyaksikannya dengan haru. Seandainya mereka perduli pada Bunga seperti ini sejak dulu, mungkin bunga tidak akan seperti sekarang ini.batin Desi.
Setetes airmata mengalir dari sudut mata kanan Bunga. Bibirnya melengkung menyunggingkan sebuah senyuman yang sangat manis, kemudian Bunga menarik napas panjang. Dan garis lurus pun terbentuk pada monitor perekan denyut jantung. Tak pelak kedua orangtua dan Desi pun panik sambil berlari keluar dan memanggil dokter.
“Dokteeeeeeeerrrr…. Dokteeeeeeeeeeeeeerrrrrr…” teriakan Desi membahana dikoridor gedung ICU. Dokter pun datang dengan tergopoh-gopoh.
“Bunga…. Bunga….” Mamanya menggungang-guncang bahu bunga. Papa Bunga hanya terdiam melihat tubuh anaknya telah membeku.
Kemudian dokter memeriksa keadaan Bunga, dan menggeleng kepada suster. Suster melepaskan semua alat medis yang menempel ditubuh Bunga dan menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh Bunga. Desi hanya terdiam, Papa berusaha menenangkan Mama Bunga berteriak dan menangis sejadi-jadinya.
“Maaf Pak, Bu. Kami sudah berusaha, namun Tuhan berkehendak lain. Saya turur berduka cita.” Ucap dokter sambil berlalu.
**********
            Hujan gerimis yang menimbulkan bau tanah basah favorit Bunga menyelimuti proses pemakamannya, seolah ingin mengantarkan Bunga ketempat peristirahatan bunga yang terakhir.. Begitu banyak yang terpukul dan merasa kehilangan sosok manja yang periang namun mandiri yang selama ini ada disekitar mereka. Tidak ada yang menyangka bahwa Bunga akan pergi begitu cepat, termasuk Bi Inah yang sangat menyayangi bunga layaknya anak kandung sendiri. Usai pemakaman satu persatu pelayat pun pamit seraya mengucapkan turut berduka cita pada kedua orangtua Bunga. Papa Bunga akhirnya mengajak istrinya pulang kerumah karena hujan semakin deras.
            Setiba dirumah, Mama Bunga masuk ke kamar Bunga. Ia mengedarkan pandangan kesetiap sudut kamar Bunga seolah mencari dimana Bunga. Ia baru menyadari, terlalu lama ia dan Papa Bunga sibuk dengan urusan bisnis meeka sehingga untuk melihat keadaan Bunga saja mereka tidak punya waktu. Penyesalan pun muncul dibenak mama Bunga manakala ia melihat sebuah tulisan Bunga yang ditulis pada dinding kamarnya, yaitu “RINDU”. Mama bunga melangkah dan matanya tertumpu pada sebuah buku yang berjudul “BUKU CURHAT”. Lalu ia mengambil dan melihat tulisan-tulisan kerinduan Bunga pada dirinya dan suaminya. Penyesalannya karena kekurangperhatian pada Bunga semakin menjadi-jadi. Ia merasa telah gagal menjadi seorang Ibu, selama ini dia berfikir hanya materi yang dapat membahagiakan putri semata wayangnya itu. Namun ketidakperduliannya pada Bunga karena mengejar materi membuatnya kehilangan putri kecilnya. Maafkan mama Bunga. Mama tidak pantas disebut seorang ibu. Semoga kamu bisa memaafkan mama, Nak.



Pict source : 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar