Matahari akan terbenam di ufuk barat, cahayanya yang kemerah-merahan menjadi pemandangan favorit Jingga. Saat umur 5 tahun ibunya pernah berkata, ketika Jingga lahir, saat itu matahari sedang akan terbenam, karena itulah kedua orangtuanya sepakat memberi nama gadis mungil yang baru lahir itu dengan nama JINGGA. Sejak saat itu, setiap matahari akan terbenam, Jingga selalu melihat keindahannya. Jingga adalah seorang anak perempuan yang telah ditinggal pergi oleh ayahnya 10 tahun yang lalu saat umur Jingga masih 6 tahun akibat kecelakaan sewaktu pulang kerja, selang dua tahun kemudian Ibunya pun pergi menyusul ayahnya karena penyakit kanker. Sejak saat itu Jingga tinggal dengan neneknya disebuah rumah yang pantas disebut dengan gubuk, yang hanya mempunyai satu kamar yang berisikan satu dipan yang berukuran sedang dan lemari yang sudah lapuk dimakan usia.
Awalnya keluarga Jingga adalah keluarga yang berada, namun sejak kematian ayahnya, usaha keluarga Jingga bangkrut karena ditipu oleh teman ayahnya. Sejak itulah mereka hidup kekurangan. Jingga tidak mempunyai saudara, baik saudara kandung maupun saudara sepupu karena kedua orangtua Jingga juga anak tunggal. Nenek Jingga sangat menyayanginya, bukan hanya karena Jingga tidak mempunyai orangtua lagi, tetapi karena Jingga termasuk anak yang pintar dan ringan tangan persis seperti kedua orangtuanya. Ia tidak segan-segan membantu neneknya berjualan sayur dipasar saat pulang sekolah, tidak jarang ia menerima olokan dari teman-temannya, namun Jingga tidak pernah membalas olokan teman-temannya, ia menganggap olokan itu tidak pernah ada. Tahun demi tahun berlalu, Jingga tumbuh menjadi gadis yang berprestasi disekolahnya, periang dan yang disenangi banyak orang dilingkungan rumahnya baik tua maupun muda. Jingga tidak pernah menuntut apapun dari neneknya, ia sudah sangat bersyukur nenek mampu menyekolahkannya hingga jenjang SMA. Hingga suatu hari neneknya jatuh sakit, tinggallah Jingga yang berjualan sendiri dipasar, demi mengumpulkan biaya pengobatan untuk neneknya, Jingga rela untuk tidak masuk sekolah, padahal ujian kenaikan kelas hanya kurang dari 3 minggu lagi.
Awalnya keluarga Jingga adalah keluarga yang berada, namun sejak kematian ayahnya, usaha keluarga Jingga bangkrut karena ditipu oleh teman ayahnya. Sejak itulah mereka hidup kekurangan. Jingga tidak mempunyai saudara, baik saudara kandung maupun saudara sepupu karena kedua orangtua Jingga juga anak tunggal. Nenek Jingga sangat menyayanginya, bukan hanya karena Jingga tidak mempunyai orangtua lagi, tetapi karena Jingga termasuk anak yang pintar dan ringan tangan persis seperti kedua orangtuanya. Ia tidak segan-segan membantu neneknya berjualan sayur dipasar saat pulang sekolah, tidak jarang ia menerima olokan dari teman-temannya, namun Jingga tidak pernah membalas olokan teman-temannya, ia menganggap olokan itu tidak pernah ada. Tahun demi tahun berlalu, Jingga tumbuh menjadi gadis yang berprestasi disekolahnya, periang dan yang disenangi banyak orang dilingkungan rumahnya baik tua maupun muda. Jingga tidak pernah menuntut apapun dari neneknya, ia sudah sangat bersyukur nenek mampu menyekolahkannya hingga jenjang SMA. Hingga suatu hari neneknya jatuh sakit, tinggallah Jingga yang berjualan sendiri dipasar, demi mengumpulkan biaya pengobatan untuk neneknya, Jingga rela untuk tidak masuk sekolah, padahal ujian kenaikan kelas hanya kurang dari 3 minggu lagi.
Demi nenek aku akan melakukan apapun batin Jingga.
Suatu siang saat Jingga sedang berjualan, Rena sahabat karibnya datang menemui Jingga dipasar.
"Hai Jingga. Kamu rajin sekali. Bukannya ini sudah waktunya kamu pulang?" tanya Rena seraya melihat jam snoopy yang melingkar ditangan mungilnya.
"Oh hai Rena. Iya nih, tapi aku harus mengumpulkan uang untuk biaya pengobatan nenek. Beliau sudah hampir sebulan ini batuk-batuk, dan kemarin batuknya hingga mengeluarkan darah. Aku takut Ren, aku takut nenek meninggalkan aku seperti ayah dan bunda." ucap Jingga sambil menahan tangisnya.
Rena menjadi iba meihat sahabatnya, sehingga terbersit sebuah ide dalam pikirannya. Rena melepaskan tasnya, kemudian.
"Ayo ayo ayo dibeli dibeli sayuran segar, sayuran segar. Bu ayo bu dibeli bu, murah meriah bu. Ibu mari mampir" Rena berlagak seperti penjual. Jingga hanya menyaksikannya dengan menahan tangis, ia tidak menyangka sahabatnya mau membantunya.
"Ren jangan, nanti seragam kamu kotor" cegah Jingga
"Ah, enggak apa-apa kok. Yah itung-itung belajar dagang lah sekalian bantuin kamu, kan bisa aja nanti aku jadi saudagar sayur. ha ha ha" Rena tertawa lepas dan melanjutkan berjualan. Jingga hanya tersenyum melihat ketulusan sahabatnya. Walaupun Rena adalah termasuk anak dari golongan yang berada, ia tidak segan-segan membantu Jingga berjualan. Ternyata usaha Rena cukup berhasil, sayuran dagangan Jingga hampir habis sebelum ashar menjelang.
"Ren, makasi ya udah bantu aku. Kalau enggak ada kamu mungkin sayuran ini harus aku buang semuanya." ucap Jingga.
"Iya sama-sama Jingga. Aku senang kok bisa bantu kamu. Itu gunanya sahabat kan?" jawab Rena sambil merangkul sahabatnya itu.
"Oh iya ngomong-ngomong ada apa kamu kesini?"
"Aku kangen sama kamu, udah hampir sebulan kamu gak masuk sekolah. Sebentar lagi ujian semester Ga. dan aku dapat titipan ini dari wali kelas kita" ujar Rena seraya memberikan sebuah amplop putih yang berlambangkan simbol sekolah Jingga.
Ketika Jingga sedang akan membuka surat itu, terdengar sebuah suara yang berteriak memanggil nama Jingga.
"Jingga... Jingga.. Jingga" serta merta Jingga dan Rena menoleh, ternyata itu adalah Bu Sarti tetangga Jingga, wajahnya menyiratkan sedikit kepanikan.
"Ada apa Bu?" tanya Jingga
"Nenekmu Jingga.. Nenekmu..." ucap Bu Sarti terengah-engah
Sontrak Jingga berdiri dan melupakan sayurannya yang sudah berserakan ditanah. "Kenapa dengan nenek bu?" Jingga panik.
"Nenekmu tadi batuk-batuk lalu mengeluarkan darah dan tiba-tiba jatuh pingsan. Sekarang sudah dibawa kerumah sakit."
Jingga langsung menangis, Rena merangkul sahabatnya itu.
"Rumah Sakit mana Bu?" tanya Rena
"Ruman Sakit Kasih Cempaka, neng" ucap Bu Sarti.
"Terima kasih ya Bu udah kasih kabar. Apa ibu mau ikut kami kerumah sakit?"
"Tidak usah neng. Ibu belum kelar masak"
"Ya sudah, terima kasih ya Bu. Kami pamit ya Bu"
"Iya, hati-hati ya neng"
"Ayo Ga, aku antar kamu kesana. kebetulan tadi aku sama supir dan dia menunggu diparkiran sana." Jingga yang seperti tak bertenaga lagi hanya menangguk lemah. Selama diperjalanan Jingga terus-terusan menangis, Rena menjadi kasihan pada sahabatnya itu, ia tau seluruk kisah hidup Jingga.
"Ayo Ga, aku antar kamu kesana. kebetulan tadi aku sama supir dan dia menunggu diparkiran sana." Jingga yang seperti tak bertenaga lagi hanya menangguk lemah. Selama diperjalanan Jingga terus-terusan menangis, Rena menjadi kasihan pada sahabatnya itu, ia tau seluruk kisah hidup Jingga.
Sampai dirumah sakit, Jingga langsung bertanya kepada resepsionis dan langsung menuju kamar tempat neneknya dirawat. ternyata disana juga ada Bu Imah yang sedang menyuapi bubur kepada nenek.
"Nenek" Jingga langsung memeluk neneknya yang sedang terbaring.
"Sudahlah Jingga, nenek tidak apa-apa" ucap neneknya menenangkan Jingga. Namun Jingga tak bergeming, ia terus saja menangis hingga suster masuk dan memberikan obat kepada neneknya.
"Nenek saya kenapa sus?" tanya Jingga.
"Nenek kamu terlalu kelelahan, di usianya yang sudah renta seharusnya beliau tidak boleh bekerja berat lagi." jelas suster itu. Bu Imah pamit pulang, dan Rena diam-diam meninggalkan ruang perawatan nenek Jingga, ia pergi ke bagian administrasi dan membayar hampir seluruh biaya rumah sakit nenek Jingga, ia tak mau melihat sahabatnya semakin larut dalam kesedihan.
Keesokan harinya keadaan nenek Jingga sudah lebih baik, Jingga memutuskan untuk tidak berjualan hari ini. Rena pun datang berkunjung, mereka menghabiskan waktu bercerita dan tertawa bersama. Menjelang siang, nenek meraskan dadanya sesak hingga kesulitan bernafas, kemudian batuk-batuk terus menerus sampai mengeluarkan darah. Jingga dan Rena kontan panik, Rena berteriak memanggil dokter dari pintu kamar. Lalu dokter dan suster pun berlari menuju kamar nenek Jingga, mereka diminta untuk menunggu diluar ruangan sementara dokter memeriksa nenek Jingga. Jingga menangis sesengukan dibahu Rena. Selang beberapa menit dokter keluar dan menghampiri Jingga dan Rena. Jingga langsung berdiri dan menatap dokter dengan tatapan bertanya. Rena melihat ke dalam ruangan suster sedang menutup tubuh nenek Jingga dengan selimut putih.
"Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun, Tuhan berkehendak lain." ucap dokter sambil memegang bahu Jingga. Mendadak Jingga merasa dunia dihadapannya berputar, Jingga jatuh terduduk dengan tatapan tak percaya, lalu menangis terisak-isak. Rena hanya membeku disampingnya.
Langit jingga menyelimuti proses pemakaman nenek Jingga. Proses pemakaman telah selesai beberapa menit yang lalu, pelayat pun satu persatu mulai beranjak pulang, termasuk orangtua Rena dan mengucapkan turut berbelasungkawa pada Jingga. Rena mengajak Jingga untuk pulang, namun Jingga belum mau meninggalkan tempat peristirahatan terakhir neneknya itu. Rena hanya membiarkan sahabatnya itu duduk menangis disebelah kuburan nenek dan Rena mengatakan pada orangtuanya bahwa ia ingin menemani Jingga sampai Jinga merasa tenang, orangtua Rena menyetujuinya karena orantua Rena cukup mengenal Jingga. Kemudian Jingga bangkit dan mengajak Rena pulang, Rena tersenyum dan menggandeng tangan Jingga. Sebelum pulang Jingga melihat langit yang berwarna Jingga dan tersenyum sambil memejamkan matanya. Tampak sisa manik bening mengalir dari sudut matanya. Jingga mantap melangkahkan kakinya seraya tersenyum dan menggenggam erat tangan sahabatnya itu.
Ayah, Bunda, Nenek. Kalian pasti telah berkumpul.
Jingga janji akan membuat kalian semua bangga.
Jingga pasti kuat.
Lihat Jingga dari sana.
Tunggu hadiah-hadiah dari Jingga ya Ayah, Bunda, Nenek
Tidak ada komentar:
Posting Komentar